Jumat, 21 Oktober 2011
Revolusi Sistem Pembayaran Elektronik
Tanpa kita sadari, kita sudah mulai terbiasa dan nyaman dalam menggunakan pembayaran non-tunai (non-cash). Sistem pembayaran ini biasanya menggunakan kartu atau sistem elektronik. Sebagai contoh banyak orang sudah memiliki kartu kredit, apalagi kartu ATM. Hampir semua nasabah bank memiliki kartu ATM, kecuali untuk produk tertentu yang memang didesain untuk tidak memiliki kartu ATM.
Di belakang layar ada juga transfer dana secara elektronik antar bank, seperti misalnya sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) dan SKN (Sistem Kliring Nasional) yang dikelola oleh Bank Indonesia. Keduanya hanya sebagian kecil contoh transfer dana secara elektronik. Masih banyak sistem kliring lainnya.
Itu sistem pembayaran yang masih “konvensional.” Ada sistem pembayaran yang baru, seperti misalnya menyumbangkan uang melalui SMS, transfer pulsa, dan masih banyak lainnya. Nampaknya kita masih di tahap awal dariRevolusi Sistem Pembayaran Elektronik.
Baru-baru ini ada topik tambahan, yaitu munculnya standar EMV yang diusung oleh Europay, Mastercard, dan Visa. (Itulah sebabnya singkatannya adalah EMV.) Mereka membuat sebuah standar dengan basis smartcard untuk menggantikan magentic stripe yang ada di belakang kartu kredit/ATM kita. Nah, apakah kita (Indonesia) sebaiknya menerima standar tersebut atau membuat standar sendiri? Ada pro dan kontranya. Kalau kita menggunakan standar EMV maka kita bergantung kepada vendor tersebut. (Standar kok bergantung kepada perusahaan ya?) Akan tetapi jika kita menggunakan standar EMV tersebut maka interoperability lebih terjamin. Misalnya kita ke luar negeri, kartu kredit kita bisa diterima di semua tempat (yang menggunakan EMV tentunya).
Standar nasional bisa bermanfaat kalau kita memanfaatkannya untuk mengembangkan industri dalam negeri. Jadi kita bisa “mengunci” teknologinya dengan menggunakan teknologi dalam negeri. Ah, tapi ini mungkin masih mimpi ya? Mungkin hanya Cina yang mampu melakukannya (dengan jumlah penduduk yang sedemikan banyak – baca: pasar – maka mereka dapat menentukan standar sendiri).
Bagaimana pendapat Anda?
Tanpa kita sadari, kita sudah mulai terbiasa dan nyaman dalam menggunakan pembayaran non-tunai (non-cash). Sistem pembayaran ini biasanya menggunakan kartu atau sistem elektronik. Sebagai contoh banyak orang sudah memiliki kartu kredit, apalagi kartu ATM. Hampir semua nasabah bank memiliki kartu ATM, kecuali untuk produk tertentu yang memang didesain untuk tidak memiliki kartu ATM.Untuk mengetahui lebih banyak mengenai hal ini dan juga berbagi visi,Sharing Vision (tm) mengadakan acara sharing vision di hotel Grand Preanger Bandung pada tanggal 20 dan 21 Juli 2006. Topiknya adalah persis yang saya tuliskan di atas. Untuk lengkapnya (cara mendaftar dan setrusnya) silahkan lihat situs sharingvision.biz.Di belakang layar ada juga transfer dana secara elektronik antar bank, seperti misalnya sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) dan SKN (Sistem Kliring Nasional) yang dikelola oleh Bank Indonesia. Keduanya hanya sebagian kecil contoh transfer dana secara elektronik. Masih banyak sistem kliring lainnya.
Itu sistem pembayaran yang masih “konvensional.” Ada sistem pembayaran yang baru, seperti misalnya menyumbangkan uang melalui SMS, transfer pulsa, dan masih banyak lainnya. Nampaknya kita masih di tahap awal dariRevolusi Sistem Pembayaran Elektronik.
Baru-baru ini ada topik tambahan, yaitu munculnya standar EMV yang diusung oleh Europay, Mastercard, dan Visa. (Itulah sebabnya singkatannya adalah EMV.) Mereka membuat sebuah standar dengan basis smartcard untuk menggantikan magentic stripe yang ada di belakang kartu kredit/ATM kita. Nah, apakah kita (Indonesia) sebaiknya menerima standar tersebut atau membuat standar sendiri? Ada pro dan kontranya. Kalau kita menggunakan standar EMV maka kita bergantung kepada vendor tersebut. (Standar kok bergantung kepada perusahaan ya?) Akan tetapi jika kita menggunakan standar EMV tersebut maka interoperability lebih terjamin. Misalnya kita ke luar negeri, kartu kredit kita bisa diterima di semua tempat (yang menggunakan EMvV tentunya).
Standar nasional bisa bermanfaat kalau kita memanfaatkannya untuk mengembangkan industri dalam negeri. Jadi kita bisa “mengunci” teknologinya dengan menggunakan teknologi dalam negeri. Ah, tapi ini mungkin masih mimpi ya? Mungkin hanya Cina yang mampu melakukannya (dengan jumlah penduduk yang sedemikan banyak – baca: pasar – maka mereka dapat menentukan standar sendiri).
Bagaimana pendapat Anda?
Untuk mengetahui lebih banyak mengenai hal ini dan juga berbagi visi,Sharing Vision (tm) mengadakan acara sharing vision di hotel Grand Preanger Bandung pada tanggal 20 dan 21 Juli 2006. Topiknya adalah persis yang saya tuliskan di atas. Untuk lengkapnya (cara mendaftar dan setrusnya) silahkan lihat situs sharingvision.biz.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar